Sabtu, 08 Maret 2014

Diposting oleh Unknown di 02.42
Menengok Kembali Sisi Perempuan Indonesia dalam Membangun Peradaban Bangsa dengan Perspektif Masa Lalu
 by : Nesia Qurrota A'yuni
"You educate a man, you educate a man. You educate a woman, you educate a generation."

                Setidaknya dari kutipan Brigham Young tersebut tercermin betapa besar peranan perempuan dalam membangun peradaban. Dalam memperingati hari perempuan sedunia yang jatuh pada 8 Maret, nampaknya kita harus membuka kembali memori kolektif kita bagaimana perjuangan perempuan di masa bangsa yang mengaku bangsa besar ini masih tertindas oleh penjajahan bangsa asing. Sejarah telah mencatat beberapa perempuan hebat yang namanya terukir dalam memori masyarakat Indonesia, salah satunya ialah Dewi Sartika. Dewi Sartika merupakan seseorang yang memperjuangkan hak kaum wanita di Jawa Barat yang kini namanya mulai hilang seiring tergerus oleh laju zaman. Apakah selamanya kita akan menjadi bangsa besar yang amnesia dengan seolah-olah lupa bahwa peradaban kita yang ada saat ini, ada karena perjuangan perempuan-perempuan hebat masa lalu?
            Pada zaman prakemerdekaan secara garis besar perempuan dapat dikelompokkan dalam dua kategori besar. Pertama adalah perempuan yang telah berdaya dan perempuan yang belum berdaya. Kategori ini sesungguhnya mengacu pada zaman di mana kebebasan belum bisa di raih secara penuh 100% oleh bangsa ini. Perempuan dapat dikatakan telah berdaya adalah perempuan yang memiliki semangat pada zamannya atau dalam istilah Belanda disebut dengan zeitgeist. Dalam kategori ini terdapat peremuan-perempuan mandiri yang sudah mulai menyadari bahwa sebenarnya ia mempunyai hak-hak individu yang memang seharusnya mereka miliki. Selain telah berdaya, perempuan dalam kategori ini juga berusaha memberdayakan perempuan lain yang belum berdaya pada waktu itu. Sedangkan yang dimaksudkan dengan perempuan dalam kategori belum berdaya adalah perempuan yang masih terperangkap dalam diskriminasi yang cukup kental mengenai gender pada masa penjajahan bangsa asing. Kemudian jika ditinjau secara sekilas, perempuan dalam kategori ini belum menyadari sepenuhnya bahwa ia mempunyai hak-hak perorangan. Dari latar belakang perbedaan dua kategori inilah yang selanjutnya memunculkan usaha pemberdayaan perempuan dari kategori perempuan yang telah berdaya.
            Salah satu usaha pemberdayaan perempuan pada zaman kolonial adalah diciptakaknnya sekolah keutamaan istri yang didirikan oleh Dewi Sartika. Sesuai dengan fakta sejarah, inilah sekolah pertama yangd didirikan di Indonesia yang bertujuan dalam pemberdayaan perempuan Indonesia yang pada saat itu difungsikan secara tidak manusia melewati usaha diskriminasi. Kita dapat melihat bahwa di zaman di mana hukum belum memayungi segenap masyarakat, isu diskriminasi gender begitu kuat tercium. Perempuan  seolah menjadi sosok yang dipinggirkan.  Dalam ibarat orang Jawa pun, perumpuan seolah-olah di dunia ini hanya memiliki tiga fungsi yaitu Tiga “M” yaitu masak, manak, macak yang artinya fungsi memasak, melahirkan, dan berdandan. Inilah yang mencoba diluruskan oleh Dewi Sartika, pejuang revolusioner perempuan Indonesia yang  mendidik, memberdayakan, dan memperjuangkan hak perempuan Indonesia di masa lalu. Dengan mendirikan sekolah khusus perempuan ini, banyak kemudian muncul banyak perempuan yang mulai sadar akan haknya dan berani memperjuangkan dirinya melawan kejamnya diskriminasi.
            Menjadi tahu dan ingat itulah setidaknya itulah mengapa hari perempuan diperingati sedunia. Kita tidak boleh lupa bahwa perempuan memiliki peran penting dalam membangun peradaban bangsa. Merekalah orang pertama yang mengajarkan segala hal bagi anak-anaknya yang kemudian akan menjadi penerus dari bangsanya. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa dari perempuanlah peradaban bangsa akan terus berlangsung dan berkembang melewati zaman yang silih berganti.

Referensi :

http://bettauntuksemesta.blogspot.com/2011/04/sebuah-esai-tentang-perempuan-publik.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

Inspirasi Nesia Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos